Selasa, 29 November 2011

HIV/AIDS Bukan Akhir Dari Segalanya

Sendiri, terkucilkan, dicerca, dan dicemooh. Itulah hal-hal yang terlintas dalam benak saya mengenai Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka yang hidup dengan "pergaulan bebas” (free sex, narkoba, homoseksual). Ya, itu memang tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga 100% benar, karena selain hal tersebut, masih banyak cara penularan HIV/AIDS yang bahkan jauh dari istilah “pergaulan bebas”. Mungkin terdengar aneh, karena meski menyadarinya, tapi tak ada sedikit pun usaha dan kontribusi yang saya lakukan untuk menghapus kesendirian mereka yang terkucilkan, tercerca, dan dicemooh masyarakat. Secara singkatnya saya menyadari namun tak beraksi. Setidaknya hal itu terjadi sebelum akhir tahun 2010.

Saya ingat betul, saat itu di bulan Desember 2010. Dalam sebuah launching novel seorang musisi beraliran underground di Bandung. Bisa dibayangkan bukan, sebuah musik beraliran metal yang sebenarnya sama sekali tidak membuat saya tertarik untuk mendengarkannya. Tapi entah mengapa saya mau saja untuk memenuhi ajakan seorang teman untuk datang pada acara yang dihadiri oleh pemuda-pemuda punk itu. Mungkin satu-satunya alasan adalah karena saya mencintai buku, dan saya suka membaca. Sampai akhirnya seusai acara saya berkenalan dengan seorang vokalis band underground. Dalam sesi ini saya cukup antusias dan penasaran dengan pemuda berusia 28 tahun yang badannya dipenuhi hiasan tato.

Perkenalan diakhir tahun dengan pemuda itu seolah membuat beberapa pemikiran dalam otak saya berubah. Pemuda dengan badan penuh tato, rambut berjambul, dan gaya bicaranya yang cukup apa adanya atau boleh dibilang ceplas ceplos itu adalah Ginan. Dimata saya dia adalah seorang pemuda penuh semangat yang benar-benar membuat saya mengernyitkan dahi sebelum akhirnya berkata “WOW!” dan bahkan tak pernah membuat saya berpikir bahwa dia adalah seorang dengan HIV Positif.

Sejak hari itu saya mulai mencari informasi mengenai siapa sebenarnya pemuda itu, semangat seorang Ginan seolah menular pada saya. Dengan berbekal pada masa lalu yang boleh dibilang “suram”, kini dia tercatat sebagai salah satu pendiri Rumah Cemara, sebuah komunitas “bantuan sebaya” yang bergerak dalam hal rehabilitasi dan Orang Dengan HIV/AIDS di Jawa Barat. Selain itu, untuk mensosialisasikan HIV/AIDS pada masyarakat pun ditunjukkan dengan banyak prestasi dalam bidang sepakbola yang diukir oleh Ginan bersama Rumah Cemara nya.

Diawal tahun 2011 ada kabar yang saya terima dari Rumah Cemara mengenai tim sepakbolanya. Prestasi mereka akhirnya menarik perhatian panitia sebuah ajang pertandingan sepakbola dunia di Paris yang bertajuk Homeless World Cup.

“Wow, itu amat menakjubkan!” ungkap saya sembari mencoba mendatangi markas Ginan dan kawan-kawannya di daerah Geger Kalong Bandung, untuk mengkonfirmasi kebenaran berita itu.

Tapi sayang, meski prestasi itu memang cukup membanggakan, mengingat Rumah Cemara menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia, tapi tim sepakbola itu tidak memperoleh dukungan finansial dari pemerintah Indonesia.

Miris!

Itulah hal yang kemudian muncul dalam benak saya. Saya pun kembali mengingat mengenai bagaimana pandangan masyarakat di Indonesia saat ini, termasuk saya yang memang masih sangat kental dengan stigma negatif terhadap ODHA. Kita menyadari betul hal itu, namun sangat minim tindakan nyata kita untuk membantu menghilangkan stigma itu.

Semangat dari Ginan dan kawan-kawannya untuk terus berusaha mencari cara agar mereka dapat memenuhi undangan pertandingan di Paris itu amat membuat saya tercengang. Mulai dari pengajuan proposal kepada beberapa instansi pemerintah yang hanya menghasilkan “Doa dan Restu”, penggalangan koin kepedulian, konser amal, pameran foto, dan lain sebagainya itu layak mendapat acungan jempol.

Melihat dan menyadari itu, rasanya sangat tidak berguna jika saya yang sudah berpikir bahwa “Kesadaran tanpa aksi itu sama dengan bohong!”.

“Andai saya seorang milyuner, mungkin akan saya tanggung semua finansial yang dibutuhkan oleh mereka.” tapi sayangnya saya jelas bukan seorang milyuner, melainkan hanya seorang mahasiswi yang hobi menulis dan membaca saja.

Dengan penuh semangat, akhirnya saya memutuskan untuk membuat sebuah tulisan yang kiranya dapat mengubah cara pandang masyarakat, memberitahu pada khalayak bahwa ada sebuah semangat besar dari mereka yang selama ini dikucilkan, dan bahkan hanya dianggap sampah masyarakat. Ada pergerakan untuk sebuah perubahan dan upaya untuk menghapuskan stigma negatif terhadap ODHA melalui sepakbola, mereka bukanlah manusia-manusia yang harus dihindari, dan pembuktian bahwa HIV/AIDS bukanlah akhir dari segala-galanya.

Ada rasa senang saat mendapati tulisan saya dimuat dalam sebuah media massa, dan beberapa teman yang semula tak tahu tentang prestasi dari komunitas Rumah Cemara, kini menjadi tahu dan mulai menanyakan atau mencari tahu mengenai apa itu HIV/AIDS, cara penyebarannya, dan apa sih yang dapat kita lakukan untuk membantu menghapus stigma negatif pada ODHA.

Kecil dan sedikit, mungkin itulah hal yang dapat saya lakukan untuk mewujudkan bagaimana kepedulian saya terhadap ODHA. Bahkan saya tak bisa membantu secara finansial.

“Sudah santai saja, nanti juga ada jalannya kalau memang kita ditakdirkan untuk berlomba di Paris!” ungkap salah seorang teman pada saya yang saat itu merasa tak begitu dapat membantu banyak untuk komunitas itu.

Semangat seolah kembali menyeruak jika saya berkunjung dan berbincang dengan teman-teman di komunitas. Terlebih jika melihat tim sepakbola Rumah Cemara berlatih dan bertanding di lapangan. Mereka sama sekali tak pernah menunjukkan bahwa mereka adalah ODHA yang selama ini dicap “Tak berumur panjang” dan “Berfisik lemah”.

“Mereka saja penuh semangat, kenapa saya tidak!” tegasku pada diri sendiri saat teringat bagaimana perjuangan Ginan dan teman-temannya untuk tetap berprestasi melawan stigma negatif.

“Saya tahu, masih banyak cara untuk membantu mereka!” Pada bulan Mei 2011, saya iseng melihat sebuah website tentang festival film dokumenter di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta.

Senyum kembali mengembang, semangat sepertinya kembali membuncah saat mengetahui festival film dokumenter yang tahun 2011 ini mengangkat tema “Bagimu Indonesia”. Dengan ide dasar semangat dan prestasi ODHA yang tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah Indonesia, meski mereka akan bertanding membawa nama Indonesia di kancah internasional itulah saya mengajukan proposal pembuatan film dokumenter.

Tujuan utama saya bukanlah untuk menjadi pemenang, mengingat pengalaman saya di dunia film amatlah sedikit, tapi yang utama adalah memberitahu masyarakat bahwa Orang Dengan HIV/AIDS tidak harus dihindari, dicerca dengan tatapan nyinyir, dan cemoohan. Bahwa mereka bisa loh membuat prestasi bagi Indonesia, meski pemerintah Indonesia sendiri belum mewujudkan secara nyata kepeduliannya.

Saya bersyukur bahwa saya dapat mempresentasikan proposal saya pada juri, meski benar saja tidak lolos menjadi salah seorang pemenang. Tapi yang cukup menegangkan adalah saat ada seorang juri yang terus berpendapat bahwa pertandingan sepakbola yang dilakukan oleh ODHA sebagai salah satu media sosialisasi itu justru akan menjadi media penularan virus HIV/AIDS.

“Bagaimana jika terluka atau tergores, berdarah, dan menempel atau kontak fisik lainnya. Hal itu amat konyol jika orang-orang sehat yang turut bertanding melawan tim ODHA itu tertular.” Ungkap salah seorang juri pada saya saat interview proposal film dokumenter beberapa bulan lalu itu. Dan saat itu rasanya jantung ini berdegup kencang, meski banyak argumen yang terlontar, tapi saya kembali gigit jari bahwa saya belum berhasil meyakinkan seorang juri itu mengenai ODHA yang tak perlu dihindari.

Setelah usai kompetisi film itu, saya kembali member kabar kepada Ginan dan teman-temannya bahwa saya belum menang untuk membawa Rumah Cemara.

“Do the best and let God do the rest!” kalimat itu terlontar dari Ginan. Saya pun kembali bersyukur bahwa setidaknya saya sudah bisa sedikit berargumen menyuarakan keinginan saya untuk turut serta menghapuskan stigma negatif terhadap ODHA.

Selang beberapa minggu dari hasil festival film itu, saya mendapat kabar dari seorang teman bernama Kheista di Rumah Cemara, ia memberitahu bahwa ada sebuah variety show yang akan menjadikan tim sepakbola Rumah Cemara sebagai bintang tamu mereka. Rasa senang kembali membuncah, terlebih saat tahu bahwa dalam variety show yang penuh motivasi itu Ginan dan tim sepakbolanya mendapatkan bantuan dana finansial untuk melaju ke pertandingan di Paris.

“Tuhan selalu membuka jalan untuk setiap umatnya yang mau berusaha.” Itulah satu-satunya hal yang hingga kini saya amat percayai.

Usaha menghapus stigma negatif terhadap ODHA terus terngiang dan membutuhkan aksi yang benar-benar nyata, memulainya dari hal yang kecil, dari hal yang mampu kita lakukan, dan memulai dari diri sendiri itulah yang penting, karena saya hanya mampu menulis, maka saya pun menulis.

Virus HIV/AIDS memang harus dihindari, tapi bukan berarti kita menghindari Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) itu, dan HIV/AIDS bukanlah akhir dari segala-galanya. Respect! Semangat!!!

**** khansakuu Following Print Posting Print FOTO: dokumentasi Rumah Cemara dan Eddy Sukmana Bandung-Jawa Barat

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 17 Juni 2010

Cerita ke Gunung Gede

Hari ini aku pikir aku akan kembali rajin masuk kuliah. Setelah beberapa hari kemarin giat membolos karena bepergian ke luar kota. Tapi ternyata aku salah, hari ini aku berburu dengan waktu. Antara mengikuti mata kuliah Feature dan Dokumenter, dan persiapanku untuk melancong ke gunung bersama teman-teman kampus. Opsss..., parahnya lagi kuliah yang harusnya dimulai pukul 13.30 wib itu harus diundur menjadi pukul 15.00 wib (dosennya telat berlebihan tuh). Jadi, sedikit mengesalkan jika inget hal kayak gini, dosen telat kita tungguin, eh kalo mahasiswa telat disuruh tutup pintu dari luar a.k.a nggak boleh masuk (tapi bukan untuk dosen matkul ini kok...hehe). Balik lagi ke acara melancong ke gunung yang tadi sempet aku singgung dikit...dikit banget. Kadang aku pikir diriku cukup nggak punya perhitungan. Mengingat baru bermalam sehari di Bandung (setelah balik dari Surabaya) aku sudah memutuskan untuk ikut pergi mendaki gunung Gede (infonya aku dapet hari kamis, dari temanku yang juga nggak sengaja cerita). Yups..., tanpa nunggu lama lagi, hari kamis itu juga aku langsung mendaftarkan diri buat ikut ke gunung Gede yang letaknya di provinsi Jawa Barat. Berangkat dari Kampus... Bandung, Jum’at 4 Juni 2010 Sore hari sekitar pukul 17.00 wib, beberapa mahasiswa dan seorang dosen di Kampus melepas kepergian 9 orang mahasiswa yang hendak mendaki Gunung Gede dengan sebuah do’a. Setelah do’a dan salam-salaman yang bagiku kadang terkesan aneh itu, kami bersembilan (Jack, Feri, Maula, Boim, Hugo, Icos, Pepy, Putri, Khansa) langsung meluncur dengan angkot ijo. Yaaa..., sedikit tawar-menawar dengan si sopir angkot berbadan gempal itu, akhirnya kami memperoleh kesepakatan harga sebesar 7 ribu rupiah untuk sampai langsung ke terminal Leuwipanjang. Sepanjang perjalanan angkot yang kami naiki cukup sempit, mengingat tas-tas besar yang kami bawa. Aslinya di angkot berulangkali aku menguap, menahan kantuk yang cukup menggila (abis akhir-akhir ini memang tidurku sangat kurang... hehe matapun bengkak mirip sby..:D), tapi aku terus memaksa mataku untuk melek, apalagi kalo ngedengerin cerita anak-anak di dalam angkot yang memperdebatkan waktu kepulangan kami, bolos kuliah yang kami niatkan (matakuliah MPK 1), obrolan Jack, Feri, dan Boim mengenai perijinan pendakian ke gunung yang sedikit...ehmmm...ehmm.... tapi semua obrolan kami terhenti di perempatan Tegalega, saat seorang pengamen menghampiri angkot yang kami naiki, dan menyanyikan sebuah lagu dari Krispatihh dengan suaranya yang cukup mencengangkan kami. 17.30 wib... kami sampai diterminal Leuwipanjang, tapi kami sengaja minta diturunkan di pinggir jalan yang berjarak beberapa meter dari terminal, karna kalo di dalam terminal kami akan dipusingkan dengan calo-calo terminal yang cerewet. Hingga adzan magrib berbunyi, kami masih menunggu bis yang akan mengantarkan kami ke Cianjur. Beberapa bis lewat dan kami belum mendapati bis yang sesuai dengan tujuan kami, sampai akhirnya bis yang kami maksud melintas di depan kami. Wew...lagi-lagi kami melakukan tawar-menawar sampai mendapat kesepakatan harga per orang 13 ribu rupiah untuk bisa menaiki bis berAC itu. @ d’ Bus... Gilllaaa!!! Batinku dalam hati saat memasuki bis itu. Bau balsem menyambut hidungku. Benar-benar perjalanan yang kurang membuat nyaman sampai akhirnya bapak-bapak pemakai balsem yang duduk persis di belakangku itu turun. Masalah balsem yang mengganggu itu beres, tapi kini muncul lagi pengganggu. Seorang wanita paruh baya yang hendak pergi ke Kebon Jeruk itu mengomel pada kondektur bis, karena merasa tak diberitahu bahwa bis yang ia tumpangi itu berputar melewati puncak (yang intinya memutar lebih jauh sebelum sampai ke Kebon Jeruk). “Plis dong bu, makanya kalo mau naik tanya dulu!!!” gerutuku dalam hati sembari menatap lekat-lekat wanita yang masih mengomel sendiri itu. “Kondektur nggak mungkin memberitahu satu per satu penumpang kan... atau mungkin dia lalai...!!!” wanita itu tiba-tiba menatapku, mungkin dia berpikir aku mendukungnya. @ Kaki Gunung Putri... dan rumah Omen... Haaaaa....., bis yang aneh itu akhirnya berhasil mengantarkan kami ke (???). dari tempat pemberhentian angkot, kami meluncur lagi menuju kaki gunung Putri. Oia, kali ini kami kembali dikenai biaya angkot 7 ribu rupiah. Ada lelucon yang muncul dari Boim. Cowok berjenggot itu membuat pernyataan bahwa ‘tingkat ketinggian akan mempengaruhi kecerdasan manusia’ alias menambah tingkat kebodohan seseorang. Hahaha..... (aku tertawa, tanpa berpikir bahwa aku juga akan terjebak dengan pernyataan itu). Hari sudah malam, aku lupa dengan jamku. Yang jelas udara disana sudah terasa dingin. Gerimis pun turun saat seorang teman Boim yang tak sengaja ditemuinya menawarkan tempat untuk kami bermalam. Akhirnya niat semula kami yang akan mulai mendaki pukul 24.00 itu dibatalkan, dan kami pun menerima tawaran Omen untuk bermalam di rumahnya dan memulai perjalanan pagi-pagi buta. Pukul 24.00 wib, aku pikir aku akan sulit terpejam jika tidur di rumah orang. Tapi, aku kembali salah..., aku tertidur dan terbangun saat sebuah alarm handphone bernyanyi. Wah..., aslinya aku kadang takut berbagai kebiasaan buruk saat tidur terbongkar (soalnya kalo tidurkan nggak sadar..) tapi yang jelas ada yang ngorok paling keras malam itu...(hahaha...sapa yaa...wkwkwk). Pukul 03.00 wib, antre...antre...antre kamar mandi... disini nih Pepy lah yang paling lama bergelut di kamar mandi. Entah ketiduran lagi, ato nggak berani pegang air yang super dingin...ato apalah.... sampai akhirnya pemuda Timor Leste itu keluar dari kamar mandi dengan keadaan selamat tak kurang satu apapun... Memulai perjalanan... Aku yang memuakkan... Pukul 04.00 wib, kami bersembilan memulai perjalanan menapaki kaki Gunung Putri, menuju Gunung Gede. Pagi itu udara dingin, dingin sekali, dan aku pikir itu adalah cuaca ternikmat untuk tidur...haha... Dengan semangat kami berpamitan pada Omen yang telah berbaik hati menampung kami selama beberapa jam untuk tidur. Aku rasa aku cukup bersemangat...ya...aku pikir, hingga beberapa langkah menuju pos penjaga aku merasakan mataku mulai gelap, kakiku terasa berat untuk diajak melangkah. “Aku pusing!” seruku pada Feri yang berjalan tepat di belakangku. “Memalukan dan mamuakkan!” aku pikir jika aku harus menyadari bahwa aku pusing, lemah, dan konyol. Sejenak aku berpikir bahwa aku harus berjalan terus, paling pantang bagiku untuk menyerah sebelum semua hal yang kulakukan selesai. “Udah kalian duluan aja, nanti aku nyusul!” pintaku pada Feri dan Pepy yang menemaniku di belakang, aku nggak tega dua orang itu ketinggalan jauh dari rombongan yang lain yang sudah berjalan lebih dulu di depan.. “Nggak! Nggak bisa gitu dong!” ujar Feri. Hee.... disini aku sadar dan yakin bahwa kebersamaan memang hal yang penting. Rasa peduli terhadap sesama dan sifat seseorang mungkin akan lebih tercermin disaat-saat seperti ini. Ya..., aku menyadarinya. Semangat lagiii... Sampai akhirnya di dekat mata air, kami bersembilan kembali berkumpul. Memasak sarapan pagi untuk menambah tenaga perjalanan yang masih panjang. Pukul 06.30 wib, kami kembali berjalan meski sudah makan, tapi aku masih belum merasakan diriku yang sebenarnya, aku masih sedikit sempoyongan, menerima uluran tangan teman lain untuk membantuku berjalan (ini adalah hal paling anti kulakukan..., ya menerima uluran tangan cowok) tapi apa boleh buat, aku muak. Tapi, aku cukup beruntung menemukan sebatang kayu (aslinya yang nemu Icos) yang bisa sedikit membantuku berjalan lebih baik... haha...atau aku hanya tersugesti. Pos 1 berhasil kami lewati, entah jam berapa saat itu (aku sudah tak peduli dengan jam dan waktu). “Ayo semangat!!!” batinku dalam hati. “Semangat!!!” tegasku kemudian pada diriku sendiri. “Semuanya balik kediri sendiri sih, kalo kamu pikir kamu bisa..., ya kamu pasti bisa!” hee...kurang lebih begitulah yang aku dengar dari Boim, pemuda yang cukup akrab dengan gunung itu kadang punya kalimat yang memotivasi juga ternyata. Semangat...semangat...semangat!!! Mungkin itu adalah kata-kata mujarabku untuk perjalanan kali ini. Aku kembali bersemangat.... yaa...aku pikir aku menemukan diriku yang tadi bersembunyi sejenak di kaki gunung. Orang-orang yang kami temui di tengah gunung... Di gunung, mungkin sebagian besar orang memakai baju berwarna gelap, atau senada dengan hutan. Mungkin hal ini dilakukan agar baju yang kita pakai tak kelihatan kotor-kotor amat. Tapi, nggak berlaku buat wanita bernama Endah yang kami temui di hutan. Dia dengan rapihnya memakai baju berwarna merah cerah. “Meskipun naik gunung, kita harus tetep gaya dong!” ujarnya dengan ramah pada kami. Tak hanya bercerita mengenai baju atau dresscode mendaki yang keren, dia juga menceritakan mengenai perjalanannya ke beberapa gunung yang ada di Indonesia, dan tak lupa ia menceritakan mengenai hobi berfotonya yang aku pikir sama dengan kami bersembilan...haha.... Selain wanita ramah itu, kami juga bertemu dengan pendaki-pendaki lain... meski nggak ada yang seramah wanita itu, tapi aku merasakan di dalam hutan kami semua teras dekat, saling menyapa, saling memberi salam saat berpapasan, bahkan ada yang berbaik hati memberikan pengobatan saat temanku Putri mengalami keram kaki. Senang sekali, ini adalah kali pertamaku kembali berjalan-jalan di gunung, setelah lepas SMA dan tidak termasuk saat ospek kampus kan...hehe... Mulai mengeluh... Mengeluh! Kadang hal itu tanpa sengaja kami lakukan, tapi aku senang jika ada orang yang mengatakan bahwa kita hampir sampai, meski aslinya masih lama. Tapi buatku itu akan menjadi semacam motivasi yang menambah semangat. Haha..., aku terlalu senang dibodohi...weee.... Kelelahan perjalanan terobati saat kami sampai di Suryakencana, padang edelweis yang menyejukkan mata. Di tempat itulah kami mendirikan tenda untuk kami bermalam, tapi belum sempat kami sampai di tempat pendirian tenda, hujan sudah turun menyambut kedatangan kami. Hujan di gunung... so cold huh!!! Hoooo...., air hujan di gunung itu segera membasahi tubuh kami, meski kami mengenakan jas hujan. “Pipiku keram!!!” ujarku masih dengan semangat pada Jack yang terlihat menggigil. Haaa..., hanya keram pipi, tapi semuanya kunikmati. Dan beruntungnya aku, aku bisa menikmati buah arbei yang tumbuh di sekitar tempat kami mendirikan tenda. “Mau arbei!” tawarku pada Jack, Putri, dan Hugo yang menggigil tak karuan. Haaa..., aku seperti tak melihat keadaan saja merasa senang saat teman yang lain menggigil kedinginan. “Semangat heh!!!” batinku. Saat itu aku memperhatikan sebagian besar teman-temanku kedinginan dengan baju mereka yang hampir basah semua, tapi aku melihat ketenangan saat Boim terus bernyanyi dan berceloteh tak karuan sembari mendirikan tenda bersama-sama dalam kedinginan. Setidaknya itu akan memberikan semangat bagi teman yang lainnya, yaa...selain buah arbei yang asam itu. Malam tiba..., kami terlelap dalam tenda-tenda kecil kami yang berwarna orange. Gagal Sunrise... Sunrise..., hoooo..., kmi melewatkannya. Meski sudah bangun saat jam empat, tapi aku nggak keluar dari tenda. Jack yang mencoba membangunkan Hugo, Icos, dan Pepy (mereka niatnya mau melihat sunrise) pun nggak berhasil membuat mereka bangun. Alhasil, kami melewatkan sunrise..., huuuu..., hanya terima mendengar teriakan orang-orang dari puncak gunung. Aku pun terlelap kembali di dalam kantong tidur yang wangi. Pagi di Suryakencana... Foto-foto...haaaa..., itu kayaknya jadi agenda utama perjalanan ke gunung deh. Di balik dinginnya kabut pagi, kami mulai bergerilya dengan kamera kami (terutama ni buat Hugo, Pepy, ma Icos). Berbeda dengan Putri yang lebih lihai difoto...haaa...narsislah buat cewek itu wajib, sedang di sela-sela tenda pagi itu, Maula sibuk menjadi koki dadakan dan menyiapkan sarapan pagi. Kali ini sarapan pagi di Suryakencana, dengan menu utama nasi, mie goreng yang aslinya dari mie rebus, kornet goreng, ikan asin, sambel kecap. Wow... menu yang cukup lengkap di tengah gunung yang dingin. Kami rasa kami cukup lahap dalam urusan makan, meski nasinya terasa sedikit keras alias belum mateng sempurna, tapi buat kami saat itu adalah hal terenak. Mengingat saat itu para cewek (aku dan Putri) nggak banyak membantu bahkan sama sekali tak membantu dalam urusan memask, jadi kami putuskan untuk membantu dalam urusan mencuci piring (kita nggak pake deterjen loh.., ini bukan jorok, tapi mencintai lingkungan). Wkwkwkwk... tapi jangan salah, dalam urusan mencuci piring, kami berdua menjunjung tinggi narsisme (minta difoto terus pas nyuci piring ^_^v). (setelah nyuci piring, aku lupa meninggalkan handuk Jack di toilet...heee...maaf gan!!) Goes to the top of the mount Gede... Foto-foto di padang edelweis... udah, ngejemur pakaian basah... udah, sarapan... udah, dan saatnya membenahi tenda dan semuanya. Kami berjalan kembali menuju puncak gunung, tapi cuaca rada sedikit nggak bersahabat lagi. Gerimis seolah menyuruh kami untuk bergegas ke puncak sebelum hujan turun. Perjalanan kami terasa semakin tinggi, seperti diketahui bahwa semakin kita berada di ketinggian, nafas kita terasa semakin pendek saja. Hah.. heh... hoh...!!! Kali ini Putri berjalan sedikit nggak bersemangat, seolah memulai perjalanan dari awal. “Ayo Put, semangat!!!” teriakku dan semua teman. Dengan penuh semangat akhirnya kami sampai di puncak gunung, tapi sayangnya kami nggak dapat memperoleh pemandangan indah yang seharusnya kami dapatkan kalo saja kabut tak menutup puncak gunung. Tapi, syukurlah misi penancapan bendera bidik terlaksana dengan baik (entah apa sekarang masih nampang ya tuh bendera di puncak sana..). Balik heh.... Turun gunung!!! Wew..., rasanya malas sekali buat turun dari puncak gunung kalo inget perjalanan naik yang penuh perjuangan. Perjalanan turun memang terasa lebih ringan (karna badan tertarik oleh gravitasi bumi). Beberapakali kami beristirahat, memakan biskuit, minum teh, dan memasukkan berbagai jenis makanan yang mungkin dapat membantu menambah tenaga kami. Tapi, diperjalanan pulang ini kami nggak membawa banyak air, karena kami melewati cukup banyak sumber air, dan serunya kami melewati sebuah lintasan yang disebut ‘Turunan Setan’ atau ‘Tanjakan Setan’ untuk yang naik. Nah sebelum kami melintasi turunan setan ini, Hugo menyempatkan diri untuk membaca sebuah puisi karya Soe Hok Gie yang judulnya Mandalawangi Pangrango. Menyentuhlah ni puisi, kalo inget sama Gie yang juga suka mendaki gunung dan menghembuskan nafas terakhirnya di gunung. Kami melanjutkan perjalanan, hujan kembali turun saat kami tiba di sumber air panas dan berpapasan dengan rombongan lain yang hendak naik gunung. Aku inget, di rombongan itu ada seorang cewek yang menyempatkan buat sholat di tengah perjalanannya (heee... jadi malu, aku bahkan lupa buat sholat... sorry God! Alasan aja kalo aku bilang tempatnya nggak mendukung...hee). Di sebelah sumber air panas itu kami beristirahat sejenak, karna perjalanan harus dilanjutkan sebelum hari gelap (paling nggak sebelum gelap kami harus sudah melewati aliran air panas... soalnya jalannya curam dan licin, kebayang kalo udah gelap..wew lah..). Setelah melintasi sumber air panas yang beneranm panasnya, kami tiba di hutan montana (itu nama tipe hutan menurut klasifikasi jenis pohonnya... dijelasin loh sama Boim). Di Montana, niatnya kami mau masak ato makan dululah, tapi sayangnya ujan berasa makin deres, lagian nggak ada tempat yang lebih layak buat masak, selain toilet bekas yang bakal ngebuat nafsu makan ilang. Jadi, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Panyangcangan (sebuah pos peristirahatan yang jaraknya lumayan jauh dari montana) setelah menyiapkan senter dan memakai jas hujan. Opss..., sayang senter yang kubawa ternyata sudah nggak layak buat dipake (cahayanya nggak lebih bersinar dari kunang-kunang yang malam itu berseliweran di hutan). Aku memutuskan untuk mengikuti langkah beberapa teman yang membawa senter. Dengan cepat aku memilih berjalan di belakang Boim, Maula, dan Hugo, sedangkan Jack, Feri, Icos, Pepy, dan Putri berjalan beberapa meter di belakang. Sesekali kami berhenti, duduk-duduk di tengah gelapnya hutan yang dingin, berceloteh mengenai banyak hal yang membantu kami menghilangkan rasa lelah. Kami bersembilan mulanya berjalan secara bersamaan, tapi entah kenapa kami selalu saja terbagi menjadi dua rombongan, masing-masing ada yang di depan dan di belakang. Tapi, kalo menyinggung masalah di belakang ni, aku cukup pede buat jalan di belakang. Sampai di tengah jalan, aku tak cukup berani juga buat berada di belakang, apalagi kalo sadar rombongan kedua yang di belakangku cukup jauh jaraknya. Haaa...., akhirnya setelah perjalanan panjang menuju Panyangcangan, kami (aku, Boim, Maula, dan Hugo) bisa kembali menikmati biskuit. “Yang lebih dulu sampe di pos, masak aja dulu!” pesan Jack itu kami ingat dengan baik. Jadi sesampainya di pos Panyangcangan, kami segera mengeluarkan kompor. “Arrrrggghhh!!!” parahnya kompor dan bahan makanan ada, tapi sayang gas nya nggak ada, alias ada di tas Pepy. Tapi kita cukup beruntung, karna di pos itu juga ada sebuah rombongan yang sedang beristirahat dan baiknya mereka mau memberikan gas pada kami. Lucunya, rombongan itu ternyata sedang kebingungan mencari air bersih untuk minum, jadi kami yang mempunyai cukp air pun saling bertukar (barter) dengan mereka. Mentang-mentang di hutan, kita pun menganut sistem simbiosis mutualisme yang cukup baik. Satu setengah jam, kami menunggu teman kami yang lain (Jack, Ferio, Icos, Pepy, dan Putri) yang belum juga sampai di pos. Merasa sedikit khawatir, was-was, dan beberapa hal yang aneh mengingat jalanan yang gelap dan licin. Tapi, syukurlah mereka datang juga, salutnya lagi mereka membawa seorang wanita dan pemuda yang keadaannya tak begitu baik buat berjalan (sakitlah). Setelah beristirahat cukup, kami kembali berjalan, kali ini sudah sangat dekat dengan kaki gunung. Di Cibodas akhirnya kami mengakhiri perjalanan gunung kami, beristirahat di sebuah warung yang menyediakan tempat untuk tidur. (wew..., aku lupa nggak ngisi kotak amal di warung Bule itu...maaf Bule). Back to Bandung... Baliklah ke Bandung, kami naik angkot dengan ongkos standar (tiga rebu) untuk turun ke jalan raya tempat pemberhentian bis. Kali ini kami naik bis ekonomi tanpa AC, tapi parahnya tarif yang diberikan sama aja dengan tarif bis berAC. Aku lupa jam berapa kami meluncur dari Cibodas, tapi yang jelas kami sampai di Bandung (kampus) saat hari sore, sekitar pukul 17.00 wib. Haaa...., tiba di kampus, saatnya berbagi cerita... wkwkwkwk....serulah... kalo mau ngintip photo", ada di blognya Hugo.. http://hugorepeat20.multiply.com/photos/album/13/bukan_untuk_jadi_pendaki (belum minta ijin sama yang empunya blog ni) * Kalo ada yang kurang, salah, keliru, ato berlebihan kasih tau yaa.., semoga someday bisa naik gunung bareng lagi kawan segunung..:)) ....Disana kita belajar, mencoba menyayangi alam lebih dari biasanya... ....Mencoba bekerjasama, saling menghargai, dan lebih peduli pada sesama... ....Benar,,, disana banyak hal yang dapat diserap... ....Alam menyediakan semuanya... ....Bertahan... ....Mencoba menginstal diri dari polusi perkotaan... ....Benar kata seorang teman, bahwa disanalah tempat seseorang memperlihatkan, dan menunjukkan karakter diri yang sebenarnya...

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 08 Juni 2010

Melancong lagi...

Wow.... Akhirnya kesampean juga pergi ke Surabaya sendirian, setelah mengalami beberapa pertimbangan dalam kebimbangan seorang Khansaisme.

Naik Kereta Lagi…

Perjalananku dimulai pada pukul 06.00 setelah kereta kelas ekonomi (kereta bertarif super ekonomis yang jadi transportasi andalanku). Sejenak aku membayangkan bagaimana perjalananku hari itu (27 Mei 2010), yang akan memakan waktu 18 jam. Aku sempat berfikir apakah hari itu kereta akan penuh sesak, karena tanggal 28 adalah peringatan hari raya waisak (sekaligus libur panjang). Tapi, untung saja perkiraanku meleset. Aku mengalami perjalanan yang cukup menarik di kereta ekonomi ini.

Duduk di sampingku, sebuah keluarga yang membawa balita berumur 4 tahun (seumuran dengan adiku). Dan hal yang membuatku tercengang dari gadis kecil ini adalah ukuran tubuhnya yang boleh dibilang gemuk, tapi tak heran juga karena bocah bernama Elsa itu sangat suka makan (sepanjang perjalanan bocah itu terus membeli jajan dan makan) jadi wajar aja kalo badannya tambun.

Perjalananku ternyata masih panjang saat kereta berhenti di Solo, menurunkan Elsa dan keluarganya. Kini aku sendirian di bangku penumpang yang berkapasitas 6 orang itu. Kereta terasa semakin sepi, tapi para pedagang asongan masih terus hilir mudik menjajakan barang dagangannya, sesekali ada yang menawariku, hingga akhirnya seorang pedagang buku duduk di depanku. Pria paruh baya itu menwarkan buku dagangannya padaku, tapi aku segera menggelengkan kepala. Tak lama kemudian pria itu menanyakan tujuanku.

”Surabaya!” jawabku singkat, aku tak mencoba memperpanjang obrolan itu, sampai akhirnya pria itu sibuk dengan handphone dan obrolan dengan sesama pedagang asongan yang juga ikut duduk di bangku penumpang di sebelah bangkuku.

”Parah!” Cuma itu yang ada dalam benakku saat para pedangan asongan itu saling curhat mengenai dagangannya yang tak begitu laku.

Hari itu pedagang buku bahkan hanya dapat menjual satu buah buku, dengan harga 7 ribu rupiah.

”Dengan penghasilan yang aku pikir jauh dari cukup, bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka? Mengingat saat ini kebutuhan hidup semakin mahal. Jadi mungkin ini yang menjadi alasan mengapa harga barang-barang (makanan, minuman, dll) yang dijajakan oleh para pedagang asongan mahal (jauh diatas normal).

To be continued...

[+/-] Selengkapnya...